Mandalawangi,
Juni yang indah ketika bunga abadi memekarkan dirinya, untuk menghiasi
kesunyian taman ini. Terbangun dibawah sinar sang surya yang tertutup puncak
punggungan dari sudut timur. Kami hadir kembali menembus kabut tipismu membawa
semangat baru.
Terdapat banyak jalur yang bisa dilewati
untuk menuju Mandalawangi, Gunung Pangrango. Jalur yang paling terkenal dan tak
asing lagi ditelinga kita adalah jalur dari Cibodas dan dari Gunung Putri. Pada
kesempatan kali ini, team kami dengan personil tiga orang, memilih jalur lain.
Dengan persiapan matang dan penuh semangat, kami lakukan pendakian melalui
jalur Ciheulang.
Memulai perjalanan dari Kalibata, Jakarta
selatan pukul 18.00 WIB, menaiki minibus berwarna hijau dengan bentuk kotak, mengantarkan
kami menuju terminal Kampung Rambutan untuk melanjutkan perjalanan dengan bus
antar Provinsi. Tiba di Sukabumi pukul 03.00 WIB, kami segera mencari tempat
untuk sejenak beristirahat memejamkan mata. Di sebuah pos tengah-tengah
perkampungan daerah pasir datar, kami terlelap dalam dekapan dinginnya kabut
tipis yang mulai turun.
Hari I (on the track)
Pagi yang indah dengan suara kicauan
burung-burung temani kami, langkahkan kaki. Pukul 09.00 WIB, badan mulai
terbebani oleh ransel, menelusuri sungai nan bening, melewati perumahan serta
sawah-sawah terbentang luas. Senyum ramah dari para Petani menemani semangat
kami, dibasahi keringat yang tak henti mengalir deras dari dahi. Tanah basah
berganti dengan jalur batu berpasir, sengatnya terik matahari sebelum sampainya
kami disebuah rumah terakhir. Satu jam waktu yang kami habiskan untuk menuju
rumah terakhir.
Tembakan kompas bidik 20 derajat,
mengantarkan kami kembali menemui sungai Ciheulang yang lebih luas didalam
hutan. Menyebranginya, lalu kami berada di sebelah kanan sungai tersebut untuk
melangkah ke utara. Langkahkan terus tanpa henti dalam nada suara aliran sungai
yang tak pernah tidur. Pacet-Pacet pun menyambut dengan suka ria dan tak
sungkan memberikan sedikit darah kami untuk persembahan, sampai akhirnya
menemui Delta -pertemuan antara dua sungai berbeda menjadi satu sungai- pukul
14.00 WIB.
o
Perjalanan masih terbilang landai
o
Tanah lembab menghiasi track pinggir sungai
o
Pacet sangat banyak
o
Banyak sungai-sungai kecil (hati-hati
keliru, patokan jalur adalah sungai ciheulang yang bentuknya besar untuk menuju
Delta, bukan sungai kecil)
o
Sering-sering check sungai, agar Delta (sebagai patokan) tidak terlewatkan
o
Perjalanan diantara sungai (kiri) dan
tebing (kanan)
o
Banyak jalur dan banyak pula tanda jalan
-ikatan tali berwarna pada batang- namun tetap konsisten dengan ploting-an jalur awal.
Setelah melewati Delta, pastikan jalur
yang dipilih adalah jalur daratan diantara sungai –sebelah kanan dan sebelah
kiri adalah sungai ciheulang-, jalur yang mulai naik meninggalkan jalur landai
tanah basah. Tembakan kompas bidik dan menguncinya pada 45 derajat, setelah dua
jam langkahkan kaki dari Delta, kami memutuskan untuk menggelar tenda dan
bermalam di tempat yang cukup landai.
Hari II (keep spirit)
Pukul 09.30 WIB, dengan sedikit
cahaya matahari serta kabut-kabut tipis yang mulai turun, lumut-lumut hijau tumbuh
subur menemani langkah kami dihari kedua ini. Terasa kental suasana damai saat
itu, hewan-hewan hutan yang tak henti bersuara, sekaligus dibarengi oleh
merdunya irama arus sungai ciheulang yang bergantian dari sebelah kanan dan
kiri jalur. Tanjakan demi tanjakan kami lalui dengan beban yang semakin berat,
karena kami harus membawa persiapan air untuk dua hari kedepan. Sumber air
terakhir adalah sunagai Ciheulang di Delta, sampai mandalawangi tidak ditemukan
sumber air lain kecuali dari air hujan atau tumbuh-tumbuhan.
o
Jalu naik (jangan berpindah punggungan)
kunci kompas bidik 45 derajat
o
Siapkan fisik prima, sepanjang jalan
dihadapkan oleh tanjakan terus menerus (tidak ada jalur menurun)
o Dibutuhkan perhitungan waktu yang
teliti, jika salah perhitungan dapat berakibat tidak menemukan tempat datar
untuk bermalam
Pukul 16.30 WIB, kami sudahi perjalanan
hari ini, untuk bermalam di area yang cukup datar. Volume Pacet mulai berkurang dan di dominasi oleh lumut-lumut
setengah kering –tidak sebasah lumut di jalur hari pertama-. Cuaca dingin
sangat menusuk-nusuk tubuh, namun tetap jangan MAGER -Males Gerak-. Setelah
menguras tenaga seharian, sejatinya tubuh membutuhkan pemenuhan gizi yang cukup
dan juga untuk masukan energi esok hari. Manfaatkanlah waktu tersebut untuk
memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan.
Hari III (push your
limit)
Kembali kami mulai perjalanan pagi
pada pukul 09.30 WIB, dengan energi baru selepas pemenuhan gizi semalam. Jalur
menjadi semakin menyatu antar punggungan yang sebelumnya hanya terlihat dari
sebrang. Terus menerus semakin menanjak dan scrambling,
udara dingin yang semakin melekat dihadapkan dengan hujan lebat. Pacet-pacet
mulai tak ditemukan keberadaannya, hutan pakis menyambut kami sebelum
edelweis-edelweis yang tumbuh abadi.
o
Didominasi tanjakan dengan sudut
kemiringan 70 sampai 90 derajat
o
Lebih dingin karena hujan dan berkabut
o
Menembus hutan pakis (satu sampai dua
jam perjalanan)
o
Dari tempat camp terakhir masih mengunci kompas bidik 45 derajat
o
Jalur yang dilalui adalah diantara
jurang disebelah kanan dan kiri
o
Dibutuhkan tenaga ekstra dan keyakinan
Sampai pada akhirnya team kami menapaki
Mandalawangi tepat pukul 15.30 WIB. Perjalanan dengan rasa berbeda, perjuangan
yang manis saat tujuan dicapai. Itulah mengapa pengorbanan yang pahit akan
terasa begitu manis, hanya Mandalawangi yang mampu menjawabnya. Ketika rintikan
hujan dan padang edelweis menyambut kami, dengan langkah gontai berbalut baju
basah mewarnai rasa haru pada diri kami.
Ini bukan tentang kesombongan
menaklukan alam, namun tentang bagaimana melawan keterbatasan dalam diri serta
menaklukan pikiran-pikiran yang membuat diri ini tidak mampu menjadi mampu.
Tidak ada larangan untuk merasa diri ini lelah, namun jangan biarkan diri ini
berputus asa. Keluhan-keluhan yang terkadang keluar adalah sifat manusiawi,
namun harus diselingi dengan tindakan untuk mencari jalan atas solusi keluhan
tersebut.
Dan salute kepada team ciheulang Sumayyah Azzahra (Maya) dan Asyrafil
Muchtar (Uda) atas teamwork tetap
terjaga sepanjang jalur pendakian. Perbedaan pendapat, pertukaran pengetahuan, emosi
terkontrol maupun yang tidak and Thank
For The Momment!!!
Komentar
Posting Komentar