“Akhir dari sebuah perjalanan adalah awal dari sebuah perjalanan yang baru”
–Agustinus Wibowo
Malam lewat begitu saja tanpa bisa ku menutup mata, bahkan malam-malam kemaren sejak bulan bulat seutuhnya sampai sekarang bulatnya tersisa sebagian, mataku telah terbiasa terbuka diwaktu-waktunya. Matahari engkau dimana? Pagimu kini ku terlelap, mentari tak kurasakan hangatnya lagi ketika merahmu perlahan muncul dari sudut timur bumi ini.
Sebuah kalimat dari seorang penulis dalam buku traveling-nya terlihat begitu sederhana namun mengandung banyak makna dan rasa didalamnya. Dalam sebuah perjalanan disebut akhir ketika telah mencapai tujuan dan kembali pulang, barulah di hari yang lain memulai perjalanan baru ke tujuan selanjutnya. Terlihat sangat sederhana bukan? Tapi apakah se-sederhana itu pembaca memaknai sebuah kalimat? Sungguh cerdas para penulis buku, terkadang pembaca terkecoh dan bias menangkap sinyal dari penulis.
Realitanya, kehidupan selalu dihadapkan dengan ujian serta rasa tak pernah puas dari manusia, tak jarang pula seseorang terlalu menyesali apa yang sudah diakhiri. Nyatanya, akhir dari sebuah realita yang ada adalah sebagai awalan dari sebuah realita yang baru. Mungkin dari penafsiran tersebut dapat disimpulkan bahwa seharusnya kata “penyesalan, kesedihan berkepanjangan, putus asa dll” harus dihapuskan! Karena tidak akhir yang benar-benar akhir dan akan kembali lagi pada awalan yang baru. Sepakat?
Dibalkon itu, ketika angin malam membelai begitu mesra, membuat imajinasiku begitu liar, lalu apakah yang kucari selama ini? Hangatnya secangkir kopi tak sehangat ucapan selamat malam darinya, kadangkala juga kutanyakan kepada bintang ketika ia padam, akankah ada yang lebih hangat dari itu?
Bagaimana dengan akhir sebuah perjalanan adalah awalan dari sebuah perjalanan yang baru namun dengan tujuan yang masih tetap sama? Mungkinkah ini bisa terjadi? Ketika kita pernah mengunjungi Monas, apakah anda tidak ingin ke Monas lagi, Ketika Monas yang sekarang sudah jauh berbeda dengan fasilitasnya yang sudah lebih baik dari Monas terdahulu? Mungkin dari kalimat sederhana Agustinus Wibowo hanya menjelaskan bahwa tidak ada akhir dari sebuah perjalanan, sebab selalu ada awalan ketika sudah berakhir namun juga tidak menutup kemungkinan tujuan yang ingin dicapai tetaplah sama dengan sensasi yang berbeda.
Seorang pembaca diajak bagaimana terus berjuang dalam menggapai realita apapun tanpa ada rasa putus asa atau penyesalan di akhir, karena bisa diawali kembali realita yang ada. Ah begitu simpelnya penulis berkata seperti itu, sedangkan suasana dan keadaan selalu berubah dan sulit untuk diperkirakan untuk kita menepis rasa penyesalan? Semua kembali pada diri masing-masing, kalimat simpel itu menjadi sebuah sinyal rumus kehidupan atas realita yang dihadapi. Semua tergantung pada induvidu dalam mengaplikasikan rumus tersebut.
Ayampun mulai bernyanyi di penghujung gelap menyambut datangnya hari yang baru. Sampai kemudian gelap datang lagi, ketika gelap berakhir terangpun mulai kembali begitu seterusnya. Sampai hati kecilku tersadar bahwa hidup tidaklah hanya sekali! Tapi berkali-kali setiap harinya. Yang hanya sekali hanyalah kematian!
Komentar
Posting Komentar