Minggu dini hari, tujuh
belas jam yang lalu adalah detik-detik dimulainya hari bersejarah dalam diri
ini secara sah memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi yang akan selalu bersandang
tepat dibelakang nama pemberian ibu dan bapak (Ikrom Fajar Ilahi SE). Hari yang
melelahkan karena cukup menguras fisik dan terlebih menguras habis perasaan
-dalam benak hati sampai saat ini masih diambang rasa percaya atau tidak- sebab
pada detik ini saya telah mencapainya.
Tepat enam jam
lewat dua menit yang lalu, terjadilah sebuah selebrasi yang menjadi tradisi atas pencapaian tersebut, dengan dibalut
gaya kekinian. Jabat tangan, ucapan selamat, buah tangan dan bunga yang memang
tak harum namun indah menjadi suatu pemandangan yang terbilang sakral dan
membekas saat itu. Karena pada detik itu kita berpamitan untuk melanjutkan pada
kehidupan yang berbeda, pada detik itu pula kita berusaha menanam kisah dan
kenangan untuk memaniskan sebuah perpisahaan dari kebersamaan rutinitas
sebelumnya.
Hal yang beda
dari biasanya adalah pemberian buah tangan dari Asyrafil muchtar alias Rafi.
Beliau memberikan sebuah botol kosong (tanpa isi), dengan kemasan yang unik
serta balutan deskripsi kreasinya sendiri, botol tersebut seolah membawa pesan
didalam kekosongannya.
Sekilas
makna dari deskripnya kurang lebih adalah:
Pada bait
pertama beliau memberikan sebuah ucapan, Bait kedua menjelaskan kondisi botol
yang memang kosong namun mengisyaratkan simbol dari sebuah pesan, dibait ketiga
bahwa botol tersebut bukanlah sesuatu yang sakral. Dan pada bait terakhir
beliau bermaksud menganalogikan sebuah tindakan yang akan terjadi ketika membuka
botol kosong tersebut, kepada penerima botol.
Menginstruksikan
langkah-langkah dalam menghadapi tantangan kekosongan botol. Kekosongan yang
digambarkan dalam bentuk-bentuk karakteristik dalam sebuah masalah. Beliau
memberikan sebuah simbolis tantangan serta memperingatkan agar menjaga dan merawat sebuah botol tersebut.
Persepsi saya mengenai filosofi dari botol kosong
tersebut adalah:
Botol kosong
tersebut diibaratkan adalah sebuah gelar Sarjana Ekonomi. Gelar/botol yang menarik akan menjadi sebuah wadah namun belum
ada isinya. Sekarang bagaimana langkah kedepan dalam memanfaatkan dan
mengisinya -gelar/botol kosong- pada kehidupan sesungguhnya. Apakah benar-benar
bisa merawat dan memanfatkan gelar/botol kosong tersebut sehingga gelar/botol kosong tidak menjadi sebuah gelar
saja/barang yang rusak.
Atas dasar itu sebuah
gelar/botol kosong bukan menjadi sebuah barang yang berharga. Barang yang
berharga terdapat pada isinya nanti. Lalu apa isinya dan bagaimana mengisinya? Itulah
tantangan yang ditawarkan dari pemberian botol kosong tersebut.
Tulisan ini
didedikasikan untuk kreativitas Rafi, sekaligus sebagai ucapan terimakasih atas
buah tangan yang telah beliau berikan. jika ada kesalahan atau komentar atas persepsi filosofi botol kosong, tolong anda jawab dengan tulisan di blog anda.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagian besar orang masih memandang sebelah mata atas hasil kreativitas. Sebagian
besar hanya berorientasi pada seberapa besar “Harganya” yang tak lain adalah
UANG! Semakin tinggi jumlah uangnya semakin “berharga”. Kreativitas selalu
dinomor duakan. Sekolah dan kuliah orientasinya adalah untuk
kerja! Kerja unuk mendapatkan uang yang banyak, alhasil setiap orang dibentuk
menjadi sangat haus uang, rakus dan induvidualis. Ya itulah penjajahan barat di
era modern menggunakan senjata tiga pilar setan agar setiap otang semakin
konsumtif dan tidak kreatif. (buku: Satanic Finance, karya: Dr Ahmad Riawan
Amin)
Di sekolah, Bu
Guru bilang anak pintar itu nilai IPA dan Matematikanya bagus.
Oiya, Bu Guru juga bilang menggambar nanti ada waktunya. Ada pelajarannya.
Oiya, Bu Guru juga bilang menggambar nanti ada waktunya. Ada pelajarannya.
Lalu aku tanya
kepada Bu Guru.
Bu, gimana cara dapat rangking 1?
Bu, gimana cara dapat rangking 1?
Lalu beliau menjawab
Belajar, dapat nilai bagus, nanti dapat deh rangking 1.
Aku diajarkan untuk berorientasi nilai.
Nilai yang dijadikan standar baku dan dianggap berharga.
Dipaksa untuk ditanam dalam otakku bahwa itu berharga.
Ketika liburan,
aku berjalan-jalan beberapa daerah di Indonesia.
Aku melihat lukisan indah
Namun, tak ada ukuran pasti atas keindahan.
Jadi, aku tidak jadi beli.
Aku melihat lukisan indah
Namun, tak ada ukuran pasti atas keindahan.
Jadi, aku tidak jadi beli.
Untuk menghadapi dunia yang dinamis, apakah kita masih butuh standar baku?
Kurasa, kita sangat konservatif jika kita masih saja bertumpu pada standar baku.
Apakah ini yang membuat kreativitas tidak terlalu dihargai?
Pendidikan yang
masif, yang aku dapatkan sampai saat ini.
Membuat saya, kita, dan mereka seperti ini.
Membuat saya, kita, dan mereka seperti ini.
Kreativitas dihargai murah.
Inovasi dihargai kacang goreng.
Padahal itulah
yang mengubah dunia.
Dan “kreativitas” adalah perantaranya.
Dan “kreativitas” adalah perantaranya.
Komentar
Posting Komentar